Kajian Islam - Pernikahan Dini

Pengertian Pernikahan Dini

Pernikahan merupakan pintu gerbang kehidupan yang wajar atau biasa dilalui oleh umumnya umat manusia. Di mana-mana, di seluruh permukaan bumi, termasuk di tempat paling jauh yang pernah ditempuh seseorang, didapati orang laki-laki dan perempuan hidup sebagai suami istri.



Menikah dini hakikatnya adalah menikah juga, hanya saja dilakukan oleh mereka yang masih muda dan segar, seperti mahasiswa atau mahasiswi yang masih kuliah. Kesiapan nikah dalam tinjauan fiqih paling tidak diukur dengan tiga hal :

Pertama, kesiapan ilmu, yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah, seperti hukum khitbah (melamar), pada saat nikah, seperti syarat dan rukun aqad nikah, maupun sesudah nikah, seperti hukum nafkah, thalak, dan ruju`. Syarat pertama ini didasarkan pada prinsip bahwa fardhu ain hukumnya bagi seorang muslim mengetahui hukum-hukum perbuatan yang sehari-hari dilakukannya atau yang akan segera dilaksanakannya.

Kedua, kesiapan materi/harta. Yang dimaksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar (mas nikah) (lihat QS An Nisaa` : 4) dan harta sebagai nafkah suami kepada isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer (al hajat al asasiyah) bagi isteri yang berupa sandang, pangan, dan papan (lihat QS Al Baqarah : 233, dan Ath Thalaq : 6). Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak harus berupa harta secara materiil, namun bisa juga berupa manfaat, yang diberikan suami kepada isterinya, misalnya suami mengajarkan suatu ilmu kepada isterinya. Adapun kebutuhan primer, wajib diberikan dalam kadar yang layak (bi al maruf) yaitu setara dengan kadar nafkah yang diberikan kepada perempuan lain semisal isteri seseorang dalam sebuah masyarakat (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 174-175).

Ketiga, kesiapan fisik atau kesehatan. khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki, tidak impoten. Imam Ash Shanani dalam kitabnya Subulus Salam juz III hal. 109 menyatakan bahwa al ba`ah dalam hadits anjuran menikah untuk para syabab di atas, maksudnya adalah jima. Khalifah Umar bin Khaththab pernah memberi tangguh selama satu tahun untuk berobat bagi seorang suami yang impoten (Taqiyuddin An Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtimai fi Al Islam). Ini menunjukkan keharusan kesiapan fisiksebelum menikah.

Bagi seorang pemuda usia untuk memasuki gerbang pernikahan dan kehidupan berumah tangga pada umumnya dititik beratkan pada kematangan jasmani dan kedewasaan pikirannya serta kesanggupannya untuk memikul tanggung jawab sebagi suami dalam rumah tangganya. Itulah patokan yang sebaiknya bagi para pemuda, kecuali jika ada fakta-fakta lain yang menyebabkan pernikahannya harus dipercepat guna memeliharanya dari dosa yang akan membawa akibat lebih buruk baginya. Bagi seorang gadis, usia mulai pernikahan itu – karena adanya kemungkinan dalam waktu singkat terjadi kehamilan dan persalinan pertama – harus memperhitungkan kematangan jasmani dan ruhaninya yang memungkinakan ia dapat menjalankan tugas sebagai istri dan ibu dengan sebaik-baiknya. 

Jika diambil patokan umur yang paling baik bagi pernikahan yang sesuai dengan keadaan yang ada di Indonesia, batas terendah bagi usia pernikahan anak gadis sekurang-kurangnya 18 tahun. Patokan umur itu sesuai dengan pendapat Prof. Sarwono Prawirohardjo yang dikemukakan di hadapan sidang Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ tahun 1955. Dalam kesempatan itu, antara lain, dinyatakan bahwa umur yang sebaiknya bagi pernikahan meliputi suatu masa yang terdiri atas beberapa tahun, dalam masa itu dipenuhi syarat-syarat optimum untuk kehamilan dan persalinan pertama. Umur yang sesuai dengan keadaan di negeri kita kurang lebih 18 tahun.


Faktor Pemicu Maraknya Pernikahan Dini di Kalangan Mahasiswa


Menikah muda, sepertinya saat ini sedang trend di kalangan generasi muda. Berikut ini beberapa factor yang memicu banyak orang untuk memutuskan menikah muda: 

Ø Untuk menjaga hati dan menjauhi zina. 

Kewajiban Menjaga Pergaulan Pria-Wanita Untuk Menjaga Kesucian Jiwa (Iffah) dalam syariat Islam sebenarnya telah secara preventif menetapkan hukum-hukum yang jika dilaksanakan, kesucian jiwa dan akhlaq akan terjaga, dan para pemuda terhindar dari kemungkinan berbuat dosa, seperti pacaran dan zina. Berikut ini beberapa hukum tersebut : 

1). Islam telah memerintahkan baik kepada laki-laki maupun wanita agar menundukkan pandangannya serta memelihara kemaluannya, dengan firman Allah SWT : 

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman,Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemauannya.” (TQS An-Nur:30-31). 

2). Islam telah memerintahkan kaum laki-laki maupun kaum wanita agar menjauhi perkara-perkara yang syubhat, dan menganjurkan sikap hati-hati agar tidak tergelincir dalam perbuatan ma’siyat kepada Allah, serta menjauhkan diri dari pekerjaan, atau tempat apa pun tidak berbaur dengan kondisi dan situasi apapun yang di dalamnya terdapat syubhat, supaya mereka tidak terjerembab dalam perbuatan yang haram. Rasulullah SAW bersabda : 

“Sesungguhnya yang halal telah jelas, begitu pula yang haram telah jelas; dan diantara dua perkara itu terdapat syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barang siapa berhati-hati dengan tindakan syubhat sesungguhnya ia telah menjaga agama dan dirinya, dan barang siapa yang melakukan tindakan syubhat, maka ia telah melakukan tindakan yang haram, sebagaimana halnya seorang penggembala yang menggembalakan kembingnya di seputar pagar, kadang-kadang bisa jatuh melewati pagar itu. Ketahuilah sesungguhnya setiap penguasa memiliki pagar pembatas, dan sesungguhnya pagar (batas) Allah adalah apa yang diharamkannya.” (HR. Bukhari). 

3). Bagi mereka yang tidak mungkin melakukan pernikahan disebabkan oleh keadaan tertentu, hendaknya memiliki sifat ‘iffah, dan mampu mengendalikan nafsu. Allah SWT berfirman : 

“Dan orang-orang yang tidak mampu nikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sehingga Allah memberikan kepada mereka kemampuan dengan karunia-Nya.” (TQS. An Nur : 33). 

4). Islam melarang kaum laki-laki dan wanita satu sama lain melakukan khalwat. Yang dimaksud dengan khalwat adalah berkumpulnya seorang laki-laki dan seorang wanita di suatu tempat yang tidak memberikan kemungkinan seorang pun untuk masuk tempat itu kecuali dengan izin kedua orang tadi, seperti misalnya berkumpul di rumah, atau tempat yang sunyi yang jauh dari jalan dan orang-orang. Sabda Nabi SAW : 

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah jangan melakukan khalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai mahram, karena sesungguhnya yang ketiga itu adalah syaithan.” 

5). Islam melarang kaum wanita melakukan tabarruj, sebagaimana firman Allah: 

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah berhenti (dari haidh dan mengandung) yang tidak ingin nikah lagi, tidaklah dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasannya (bertabarruj).” (TQS. An-Nur : 60). 

6). Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian sempurna, yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya; dan hendaknya mereka mengulurkan pakaiannyaآ sehingga mereka dapat menutupi tubuhnya. Allah SWT berfirman: 

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung (khimar) ke dadanya.” 

(TQS An Nuur: 31) 

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” 

(QS Al Ahzab: 59) 

7). Islam melarang seorang wanita melakukan safar (perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam, kecuali apabila disertai dengan mahramnya. Rasulullah SAW bersabda: 

“Tidak dibolehkan seorang wanita yang beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali bila disertai mahramnya.” 

8). Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus hendaknya jamaah kaum wanita terpisah (infishal) dari jamaah kaum pria, begitu juga di dalam masjid, di sekolah dan lain sebagainya. Islam telah menetapkan seorang wanita hendaknya hidup di tengah tengah kaum wanita, sama halnya dengan seorang pria hendaknya hidup di tengah tengah kaum pria. Islam menjadikan shaf shalat kaum wanita di bagian belakang dari shaf shalat kaum pria, dan menjadikan kehidupan wanita hanya bersama dengan para wanita atau mahram-mahramnya.Wanita dapat melakukan aktivitas yang bersifat umum seperti jual beli dan sebagainya, tetapi begitu selesai hendaknya segera kembali hidup bersama kaum wanita atau mahram-mahramnya. 

9). Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita hendaknya bersifat umum dalam urusan muamalah, bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara wanita dengan pria yang bukan mahramnya, atau jalan jalan bersama. Sebab, tujuan kerjasama dalam hal ini agar wanita dapat segera mendapatkan apa yang menjadi hak-haknya dan kemaslahatannya, di samping untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya. 

Ø Untuk merasakan nikmatnya keluarga sakinah, mawaddah, warohmah 

Ø Banyak mambaca buku-buku tentang pernikahan sehingga termotivasi untuk menikah 

Ø Banyak mengikuti pengajian yang menganjurkan untuk segera menikah 

Ø Perkembangan teknologi. 

Begitu cepatnya perkembangan teknologi membantu kita menambah ilmu pengetahuan namun dengan cepat pula merusak mental generasi muda. 

Ø Berkurangnya nilai-nilai agama yang diserap para remaja sekarang ini sehingga timbul hubungan seks pra nikah, seorang ustadz mengistilahkan dengan pemilu, alias pengantin hamil dulu. Istilah lain yang dikenal anak muda adalah MBA, alias married by accident.

bersambung ....

Comments

Popular Posts